Jumat, 08 Oktober 2010

Sukyatno Nugroho

Namanya Sukyatno Nugroho. Usianya 51 tahun dan menyandang "gelar" MBA. Bukan Master of Business Administration seperti yang biasa, tetapi kependekan dari Manusia Bisnis Asal-Asalan. Entah siapa yang mengolok-olok demikian, tetapi lelaki ini memang pengusaha bisnis makanan dan minuman yang terkenal dengan Es Teler 77-nya, dan sukses. Ini sebuah paradoks: dijuluki sebagai "Manusia Bisnis Asal-Asalan", tetapi kok usaha bisnis restoran yang dirintisnya mulai tahun 1982 justru terus berkembang. Bahkan sejak pertengahan 1997 ia membuka usaha jenis baru, masih tetap seputar urusan perut, yaitu "Bakmi Tek-Tek" dan "Ikan Bakar Pasti Enak". Ini pasti ada apa-apanya.http://www.indomedia.com/intisari/1999/febr uari/images/potret3.jpg

Olok-olok itu tidak tepat benar. Apa yang dia lakukan dalam memutar roda bisnisnya tidak asal-asalan. Bukan asal bisnis, asal jualan, asal melayani, asal promosi, dan asal-asal yang lain. Justru ia melakukan apa yang tidak banyak dilakukan pengusaha lain. Pendeknya, ia banyak melakukan terobosan dan inovasi. Misalkan, ketika orang lain terkesima dan mengagungkan produk dan merek asing, dia justru menyodorkan produk asli Indonesia dengan merek asli Indonesia pula: ia mengerek bendera bisnisnya dengan Es Teler 77-nya. Ketika sistem franchise atau waralaba belum lazim untuk mengembangkan bisnis produk dan merek dalam negeri, Sukyatno justru mengibarkan bisnis restoran es telernya dengan cara itu.
Padahal kala itu usahanya baru berkembang. Boro-boro terkenal, rasa es teler ataupun baksonya belum banyak dikenal orang. Lalu supaya dikenal, ia memasang label "Juara Indonesia" pada merek Es Teler 77-nya. Ini pun tidak asal main pasang. Sebab, predikat juara itu memang benar diperoleh dari suatu lomba membuat minuman es pada tahun 1982 yang diadakan pertama kali sekaligus terakhir di muka bumi ini. Label itu makin mengibarkan bisnis es telernya.
Dalam hal marketing public relations, Sukyatno memilih cara yang tidak biasa, dan selalu menciptakan komunikasi yang kreatif setiap kali membuka dan meresmikan outlet baru. Dia tidak memperkenalkan produknya lewat iklan. Ia juga "alergi" dengan kegiatan promotif yang tersusun rapi dengan rincian anggaran yang sudah dipatok besarannya. Pria kelahiran Pekalongan, 3 Agustus 1948, ini justru menyukai gelar promosi melalui acara yang tidak lazim. Bahkan tidak jarang menggelar acara untuk mencoba memecahkan rekor "ter-".
Sekadar contoh, ketika membuka cabangnya di Malang, dia menggelar lomba lukis bagi para tuna netra. Lalu bersamaan dengan acara pembukaan cabang di kawasan Mangga Dua, Jakarta, dia memprakarsai gelar pemecahan rekor dunia jumlah bank terbanyak di satu lantai dalam satu atap gedung. Lalu di Simpang Lima Semarang, dekat lokasi salah satu cabang restorannya, ia mengadakan lomba membuat gado-gado bagi istri tukang becak.
Warungnya pun dibuat unik dengan dominasi warna hijau dan kuning ngejreng tapi khas. Meski sebagian orang menganggapnya norak. "Kuning itu warna nangka, hijau alpukat, dan putih kelapa. Kalau orang bilang tempat saya paling norak di seluruh dunia, saya malah senang. Satu-satunya franchise paling norak, ya punya saya. Tapi sebenarnya saya membuat ciri sendiri," kilahnya.

http://www.indomedia.com/intisari/1999/februari/im ages/potret4.jpg

Sementara itu ke dalam, sebagai pengendali sekaligus pemilik perusahaan, dia juga menempatkan diri dengan caranya sendiri. Kalau orang nomor satu di sebuah perusahaan waralaba lain tugasnya lebih banyak duduk di kantor, tanda tangan di kursi empuk dalam ruangan berpenyejuk udara, Sukiyatno justru lebih banyak ikut nyemplung di lapangan. Bahkan dia tak segan-segan ikut membelah kelapa atau nangka - bahan baku untuk es telernya - seperti ketika membuka cabang Es Teler 77-nya yang ke-200 di Singapura. "Begitulah seharusnya seorang wiraswastawan," ujar suami Yenny Setia Widjaja ini.
Sukyatno tak keberatan kalau ada orang yang menyebutnya sebagai pengusaha paling nyleneh bin aneh di dunia. Dia menolak disebut direktur atau presiden direktur. Dia lebih suka disebut juragan, julukan yang biasa disandang pengusaha kecil. "Kalau saya juragan, yang punya wilayah (maksudnya, usaha Es Teler 77 - Red.) di Indonesia bahkan luar negeri cuma saya. (Pangkat) rendah tidak apa-apa. Tapi nomor satu di Indonesia," jelasnya.
Dengan kiat-kiat yang tidak lazim Sukyatno toh mampu membawa barang dagangannya dikenal banyak orang. Tidak lazim bukan berarti tanpa makna. Sebab, sering kali acara yang digelar mempunyai kadar newsworthy pekat, sehingga kuli tinta seakan tersedot untuk datang meliput. Ketika beritanya tersiar lewat media massa, secara tak sengaja usaha bisnisnya dipromosikan. Sementara publik yang menyaksikan secara langsung gelar acara itu mengetahui kehadiran outlet Es Teller 77 di tempat mereka. Dengan demikian, produk waralabanya memiliki awareness tinggi, alias dikenal luas.
Jodoh bawa rejeki
Entah apa yang menggiring Sukyatno hingga sampai pada suatu perilaku bisnis macam itu. Yang pasti, pria berperawakan agak subur ini tidak pernah bermimpi jadi pengusaha sukses seperti sekarang. Pendidikan formalnya cuma sampai SMU kelas 1. Bahkan, di kelasnya dia mengaku hanya mampu mencapai ranking 40 dari 50 orang siswa.
Namun, di balik itu dalam tubuhnya mengalir darah keuletan dan kejelian mencari peluang. Berbekal ijazah SMP, bujangan Sukiyatno mencoba mengadu nasib sebagai salesman barang-barang kelontong di Jakarta. Dalam perjalanannya ia juga pernah menjadi pemborong bangunan reklame, usaha percetakan, dan biro jasa sekaligus tukang catut. Ternyata dari aneka macam pekerjaan itulah dia mendapatkan ilmu dagang dan memahami pasar.

Ketika masih jadi salesman, ia berkenalan dengan Yenny Setia Widjaja, gadis manis pedagang alat-alat elektronik di kawasan Kota, Jakarta. Kerlingan matanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Konon setiap melihat Sukyatno memarkir sepeda motornya di depan toko, jantung gadis kelahiran 27 Januari 1952 ini berdegup keras. Tanpa terucap kata cinta, pria bershio tikus ini pun menjalin tali kasih. Enam bulan kemudian, tepatnya 28 September 1971, mereka pun menikah.
Tak disangka pernikahan itu mengantar Sukyatno menjadi pengusaha es teler. Setelah bergulat dengan berbagai cobaan hingga bangkrut dari usahanya yang masih serabutan, keberuntungan mulai berpihak pada pria bernama asli Hoo Tjio Kiat ini. Ibu mertuanya berhasil menjadi juara lomba membuat es teler pada 1982. Kepiawaian Sukyatno mencontek ketika masih sekolah dia tunjukkan kembali. Resep es teler itu dia jiplak mentah-mentah.

http://www.indomedia.com/intisari/1999/februari/im ages/sukyatno.jpg

Dengan modal Rp 1 juta, pada 1982 ia membuka warung es teler pertamanya di halaman pusat pertokoan Duta Merlin, Jakarta. "Waktu itu, saya belanja sendiri. Jam lima pagi belanja di pasar, cari nangka di Pasar Minggu," kenangnya. Namanya saja resep juara, tentu enak rasanya. Maka wajar kalau kemudian pelanggannya makin hari makin banyak. "Warung saya ramai karena saya tulisi Juara Indonesia. Itu saya pakai sampai sekarang karena memang tidak ada orang yang merebut juara itu dari mertua saya," tambahnya, seperti dikutip Gatra (27 Mei 1995).

Karena beberapa kali warung tendanya digusur, Sukyatno berunding dengan istrinya untuk mencari jalan keluar. "Mendingan mengalah. Kita akan selalu kalah kalau bertengkar dengan orang gede. Kalau saya nyogok Rp 1 juta, orang gede bisa nyogok Rp 10 juta,-. Saya pasti kalah," ujarnya rada dongkol. Ini justru menimbulkan dendam positif. Kalau digusur satu, harus jadi lima. Digusur lima, harus jadi lima puluh. Tekadnya ini ternyata membuahkan hasil. Dia mampu menyewa kios di Pondok Indah untuk pertama kalinya pada 1992. Setelah itu, beberapa cabangnya bertebaran di mana-mana.

Namun, beberapa kali cabang yang didirikannya gagal. Usut punya usut ternyata di depan kiosnya ada pedagang es teler juga dengan harga separuhnya. Akhirnya, kiosnya dipindah ke plaza (pusat perbelanjaan) setelah melalui perdebatan sengit dengan istrinya lantaran masa sewa kios lamanya masih 1,5 tahun. "Kepindahan ke plaza ini justru menjadi sebuah revolusi," cerita ayah Felicia, Andrew, dan Fredella ini.
Keputusannya kali ini tepat. Kepindahannya ke plaza pada 1994 itu ternyata semakin membuka lebar pintu usahanya untuk menjadi lebih sukses. Kalangan pembelinya pun semakin luas dari berbagai strata sosial-ekonomi. Bisa diduga, uang pun mengalir deras ke koceknya. Namun, sukses itu tak membuatnya berhenti.

Tibalah dia pada ide waralaba. Ia berusaha menggali informasi tentang sistem bisnis ini. Lembaran buku tebal tentang franchise yang berbahasa Inggris dibolak-baliknya. Namun, "Yang saya lihat bagan dan skemanya saja. Saya 'kan cuma tamatan SMP. Baca buku tebal berbahasa Indonesia saja nggak sanggup, apalagi berbahasa Inggris," akunya terus terang. Sejak itulah dia merintis bisnis waralaba untuk Es Teler 77-nya.

Krismon tak berpengaruh
Sukyatno melihat, pengembangan usaha dengan cara bermitra memang memberi peluang berhasil lebih besar. Usaha waralaba ini membutuhkan investasi ringan, teknologinya sederhana, bahan bakunya mudah diperoleh, dan jaminan keuntungannya yang menggiurkan. "Kalau saya bermitra dengan H. Sukarta di Batam, misalnya, yang memodali 'kan dia? Dia orang sana, tahu 'musuh-musuh' (pesaing - Red.) di sana. Dia tahu tempat membeli nangka. Jadi, dia tak mau rugi. Ini ‘kan milik dia. Saya mendukung dengan merek dan manajemen standar," tuturnya.
Sementara ia sendiri juga mengganggap, cabang itu miliknya, sehingga ia pun tak ingin ada cabang yang tak sukses. "Walaupun restoran itu milik orang lain, tapi ‘kan pakai merek saya. Jadi, saya bekerja seolah-olah itu milik saya," tambahnya.

Dari semua cabang Es Teler 77 yang pada September 1998 lalu mencapai 203, lebih dari 95% milik mitranya. Ini merupakan rekor terbesar jumlah mitra usaha dengan pengusaha kecil dalam bisnis waralaba tradisional. Sukyatno mengaku, sebenarnya bisa membuat semuanya milik mitra usahanya. Namun, dia menganggap perlu ada cabang yang dikelola sendiri untuk contoh bagi franchisee atau mitra usahanya. Di samping itu juga sebagai laboratorium pengujian bagi usaha waralaba yang dia jalankan.

Dengan pola usaha macam ini, pada masa krisis ekonomi sekalipun, roda usaha tetap menggelinding. Pasalnya, bisnisnya tidak menggunakan kredit bank sehingga tidak terbebani oleh pengembalian kredit dengan bunga yang selangit. Bahan baku makanan dan minuman pun bisa diperoleh di Indonesia, sehingga biaya produksinya tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak kurs rupiah, dan harga jual produknya pun masih terjangkau.

Bahkan, Sukyatno mampu membuka lagi bisnis waralaba baru, yakni "Bakmi Tek Tek" dan "Ikan Bakar Pasti Enak". Untuk membidani lahirnya dua usaha baru itu, dia mengaku cuma perlu waktu dua minggu, dari munculnya ide sampai mulai jalan. "Lha wong idenya muncul di dalam mobil saat dalam perjalanan," kenangnya. Kini cabang "Bakmi" ada 34 dan "Ikan Bakar" ada tujuh.

Dalam pengelolaannya, Sukyatno menerapkan standardisasi. Tak hanya pada manajemen, tapi juga pada peralatan dan mutu produk. Peralatan yang ada di setiap restoran yang menggunakan merek dagangnya memiliki standar yang sama dan sudah modern. Umpamanya, tempat menyimpan bahan es telernya sudah berpendingin dan penghancur esnya otomatis sehingga butiran esnya seragam. "Semuanya sudah rapi dan efisien, sehingga semua orang bisa menyiapkan es teler," jelas pria berpenampilan sederhana ini.

Mutu makanan dan minuman yang dijual pun baku dengan resep yang tak berubah sejak ia buka warung hingga kini. Dalam segelas es teler tetap terdapat kelapa muda, alpukat, nangka, sirup dengan rasa khas, dan serutan es. Untuk mendukung standardisasi mutu itu dia mendirikan perusahaan khusus penghasil bahan utama setiap restorannya di bawah PT Pancoran Murni Sejati. Perusahaan ini memasok bahan baku utamanya berupa sirup, biang kuah bakso, dan mi kepada semua cabang Es Teler 77.

Lalu, apa yang bisa diperoleh si penemu resep es teler, yang juga ibu mertuanya, setelah usahanya menjadi besar? Sukyatno memang tidak membeli hak cipta resep itu. Ia memilih pendekatan kekeluargaan. Saham Es Teler 77-nya dimiliki oleh semua anggota keluarganya. "Yang 25% dipunyai mertua wanita, 25% mertua laki-laki, 25% istrinya, dan 25% sahamnya," ungkapnya. Dengan demikian, tidak ada masalah dalam hal property right resep es telernya.

Dalam menggerakkan usahanya efisiensi juga menjadi perhatian. Dia sadar betul, biaya sewa ruangan di plaza tak semurah halaman pusat pertokoan atau ruko. Biaya ini pula yang jadi satu-satunya kendala yang dia hadapi karena perhitungan sewa ruangan di plaza umumnya berdasarkan mata uang dolar AS. Karenanya pengaturan ruangan yang luasnya 30 - 50 m2 dibuat efisien sehingga jarak antarmeja menjadi sempit. Memang kurang nyaman, tapi itulah ciri restoran Es Teler 77. "Kalau ada yang pacaran, untuk mengucapkan ‘aku cinta padamu’ saja tak mungkin karena pasti kedengaran. Suasananya saya buat terang. Dalam hati, saya berharap setiap tamu yang datang ke sini kalau bisa cepat pulang karena tempat ini mahal, ha-ha-ha."
Tenaga kerja pun efisien. Tiap cabang menyerap tenaga kerja 8 - 12. "Kita sangat efisien. Kasir juga bisa melayani. Semuanya all round. Jadi, siapa pun bisa melakukan tugas yang ada. Kalau di tempat lain kokinya kabur, usaha tak bisa berjalan. Di sini tidak," tegasnya.
Dengan begitu, apakah Sukyatno masih bisa digelari MBA, "Manusia Bisnis Asal-Asalan? Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Tergantung dari mana melihatnya. Yang jelas, sebagai praktisi ia telah terbukti andal. (I Gede Agung Yudana)
http://ceds.ui.or.id/forums/archive/index.php?t-44.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar